5 Sebab Mengapa Perang Dunia 2 Harus Terjadi
Selama ini kita mendengar bahwa Perang
Dunia ke 2 terjadi karena perlombaan senjata dan ideologi yang cukup
sengit baik di Eropa maupun Asia. Negara otoriter melawan negara
demokrasi yang berbasis kerakyatan. Namun sebenarny Perang itu sendiri
tidak dapat dinilai secara hitam dan putih. Di Jerman misalnya, NAZI
sendiri berhasil mengambil alih tampuk kepemimpinan lewat sebuah pemilu
demokratis. Untuk itulah, mari kita bahas beberap sebab Perang Dunia ke 2
yang jarang kita temui di buku-buku sejarah:
Sistem Pertanian
Selama berabad-abad, manusia
menggandalkan lahan garapan yang subur dan ternak untuk menghasilkan
pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan penduduk. Traktor, pupuk
buatan, dan mekanisme pertanian modern sama sekali belum tercipta.
Memasuki abad baru, kebutuhan pangan dunia semakin meningkat. Manusia
membutuhkan lahan baru untuk menghasilkan pangan yang cukup karena lahan
lama sudah tidak mencukupi dan kalaupun masih mencukupi, lahan tersebut
sudah tidak lagi sesubur yang dahulu.
Masalah pangan ini jarang sekali dibahas
dalam sejarah Perang Dunia ke 2, namun beberapa ahli menyatakan bahwa
masalah pangan adalah pemicu terjadinya perang yang membunuh lebih dari
50 juta manusia itu. “Lanbensraum” adalah semboyan Jerman untuk
menyatakan bahwa mereka mengginginkan untuk melakukan perluasan wilayah.
“Blut und Boden” atau tanah dan darah yang merupakan gerakan pekerja
terutama bidang agrikultur.
Masalah pangan menjadi pelik karena
jumlah penduduk di waktu itu begitu tinggi dibandingkan jumlah pasokan
pangan yang mampu dihasilkan. Perubahan gaya hidup konsumtif juga
mendorong perluasan wilayah antara negara-negara industri. Amerika mulai
mengintensifkan pertanian di wilayah barat yang sebetulnya hak milik
indian, Inggris memasok pangannya dari India dan Afrika selatan,
Perancis dengan afrika utaranya, Belanda dengan Indonesia, dan Jepang
dengan Manchuria.
Ledakan Penduduk dan Industri
Tidak dipungkiri, memasuki abad 20,
jumlah penduduk bumi mencapai titik tertinggi di dalam sejarah umat
manusia. Hampir 3 kali lebih banyak daripada satu abad sebelumnya.
Jumlah penduduk ini tidak hanya menimbulkan masalah ketersedian pangan
yang terbatas, namun juga masalah ekonomi.
Setelah perang dunia pertama, ekonomi
dunia rata-rata ambruk. Penggangguran di negara-negara industri
meningkat drastis seiring dengan tutupnya pabrik-pabrik dan
perindustrian. Dunia yang tidak pernah dibebani dengan penduduk sebesar
itu seakan hampir kolaps. Di beberapa negara industri, militerisasi
menjadi sebuah opsi jalan keluar yang hampir tidak dapat dihindari. Di
Soviet, militer dapat juga bekerja sebagai buruh pembangunan
infrastruktur. Di Amerika, pabrik-pabrik senjata dibanjiri pelamar
kerja. Di Jerman sendiri, hampir seluruh merek terkenal yang sekarang
kita temui adalah penghasil senjata di masa itu.
Industri dan melimpahnya tenaga kerja
seolah-olah harus dimanfaatkan. Dan jalan keluar yang paling praktis
dari kedua entitas tersebut adalah adanya perang. Dengan perang, seluruh
sumber daya baik kapasitas industri yang mengganggur serta tenaga
kerjanya dapat dimanfaatkan dengan lebih terarah. Buruh juga dapat
dibayar secara lebih murah (misal di Soviet) untuk bekerja pada kondisi
yang jauh dari layak.
Perjanjian Versailles Bagi Jerman
Perjanjian Versailles yang mengakhiri
perang dunia ke 2 sangat mencekik bagi Jerman. Pada kenyataannya, ketika
Perang Dunia 2 berakhir, tidak ada satupun wilayah tanah Jerman yang
diduduki oleh sekutu dan di front barat, Jerman masih mencokol sebagian
wilayah Perancis.
Normalnya, sebuah perjanjian untuk
mengakhiri perang semacam ini hanya berupa status quo saja. Namun yang
terjadi adalah, Jerman diperkosa habis-habisan. Kaisar mereka diturunkan
dari takhtanya, wilayahnya dicabik-cabik, pasukannya dikerdilkan hingga
100.000 orang saja, dan mereka juga diharuskan membayar beban hutang
perang negara-negara sekutu.
Perjanjian Versailles membuat industri
Jerman lumpuh, penggangguran dimana-mana, dan inflasi meledak hingga
jutaan persen. Bayangkan saja, harga sepotong roti yang awalnya tidak
lebih dari 5 Mark melonjak menjadi 5 milyar Mark!
Masa-masa kelam semacam itu menghasilkan
pergerakan ekstrimisme di Jerman. Sayap kanan yang kemudian
menggabungkan diri ke dalam tubuh NSDAP (atau yang lebih kita kenal
dengan nama NAZI) akhirnya berhasil memperoleh simpati rakyat melalui
pemilu demokratis. Fakta yang sedikit lucu, sebuah pemilu demokratis
menghasilkan pemerintahan otoriter paling keras sepanjang sejarah
Jerman.
Pembagian Wilayah Yang Kacau Pasca Great War
Pembagian Wilayah baik kepada
negara-negara yang kalah maupun pemenang dalam Great War (Perang Dunia
I) oleh sebagian ahli dianggap terlalu sembrono. Yugoslavia misalnya,
adalah gado-gado etnis campuran yang belum pernah secara independen
berdiri sebagai sebuha negara. Wilayah Kekaisaran Jerman juga dikebiri
hingga Prussia Timur dan Jerman lainnya harus terpisah, begitu pula
dengan wilayah Rheinland dan Saarland yang harus diduduki oleh sekutu.
Jerman harus menerima nasib bahwa tanah
leluhur mereka harus diduduki secara pakasa oleh pihak asing. Hal ini
tentu saja tidak bisa diterima begitu saja oleh sebagian besar rakyat
Jerman. Meraka masih mengganggap bahwa Jerman sebenarnya belum tentu
kalah dalam Perang Dunia Pertama. Perang tersebut hanya berhenti di
tengah jalan.
05 Perancis dan Inggris Yang Pasif
Perancis dan Inggris yang merupakan
kekuatan dominan di Eropa pasca Perang Dunia I dinilai bersikap terlalu
pasif dalam menanggapi berbagai isu konflik yang terjadi di Eropa.
Ketika Jerman merebut kembali Rhineland dan Saarland secara paksa, kedua
sejoli tersebut hanya terdiam pasrah. Begitu juga ketika Third Reich
mencoba untuk menganeksasi sedulur mereka yaitu Austria. Jerman menjadi
semakin agresif ketika Cheko yang notabene tidak mempunyai mayoritas
penduduk berdarah Jerman ikut bersatu dalam negeri seribu tahun
tersebut.
Jerman pada tahun 1938 belum mempunyai
kekuatan yang cukup untuk memulai sebuah perang skala besar. Tidak juga
sebenarnya ketika Invasi Polandia berlangsung pada September 1939. Jika
saja di waktu itu Perancis dan Inggris mau bergerak sedikit lebih cepat,
maka agresivitas Jerman sebenarnya mampu diredam. Hal itu terjadi pula
di wilayah-wilayah belahan dunia lain seperti ketika Jepang juga
berusaha untuk merebut Manchuria dan kemudian hari China.