Bunker Jepang, Saksi Bisu Perang Dunia II Di Daratan Timor
Sebenarnya sudah sejak lama saya tau kalau di dekat bandara El Tari Kupang terdapat peninggalan Perang Dunia (PD) II berupa bunker-bunker tentara Jepang. Dan sudah beberapa kali juga saya berkunjung ke lokasi tersebut. Namun baru kali ini saya menyempatkan diri untuk mengabadikannya ke dalam beberapa frame foto.
Sabtu pagi, saya genjot sepeda ke arah Bandara El Tari. Tujuannya adalah padang terbuka yang berada di sebelah utara bandara. Akhir-akhir ini Kota Kupang hampir tiap hari diguyur hujan, sehingga warna hijau menghiasi setiap pucuk dahan, tak terkecuali rumput dan ilalang di lokasi tersebut. Warna hijau muda terpancar dari daun-daun yang baru tumbuh, sangat menarik, kontras bila dibandingkan dengan musim kemarau. Niat awal saya sebenarnya adalah mencari trek baru untuk dijelajahi, karena kemarin saya liat banyak jalan setapak yang membelah hijaunya rerumputan. Sepertinya enak juga dipake cross country-an.
Jalan setapak berbelok, naik dan turun melewati sebaran benda berwarna kehitaman di antara susunan karang. Yup, itulah bunker-bunker peninggalan tentara Jepang. Terdapat puluhan bunker yang tersebar dengan pola melingkar di area seluas kurang lebih 6x lapangan bola. Ukuran bunker bervariasi, yang kecil dengan dimensi luar (panjang x lebar x tinggi) 3x2x2 meter, dan yang besar mencapai 5x3x2 meter. Dinding bunker berupa beton setebal 30-40 cm. Betonnya terlihat kokoh, karena pembangunannya bebas korupsi, beda dengan bangunan hasil proyek pemerintah sekarang, hehe… Setiap bunker mempunyai pintu dan beberapa jendela, kecil dan besar. Antar bunker tersebut dihubungkan dengan parit sedalam 1-1,5 meter. Gak kebayang majunya teknologi dan tingginya semangat tentara Jepang waktu itu, mengingat kawasan ini merupakan hamparan karang yang tentunya sangat sulit untuk digali. Di samping beberapa bunker terdapat lubang dengan luas 3×3 meter sedalam 2 meter. Menurut sok tau nya saya, bisa jadi lubang-lubang tersebut adalah tempat penampungan atau pembuangan air, tempat sampah, atau yang paling ngeri sebagai tempat pembuangan sementara mayat-mayat yang gugur dalam perang. Hadeeh, kebanyakan nonton film PKI nih
Di bagian paling tinggi, terdapat beton berbentuk segi delapan, mungkin bekas landasan meriam untuk mengebom kapal-kapal sekutu yang menyerang. Laut memang terlihat jelas dari posisi ini. Tentang meriamnya, gak tau apakah sempat dipasang atau telah dibongkar, karena yang tersisa hanya landasan beton tersebut. Di tengah kepungan bunker, ada sebuah bangunan berbentuk setengah lingkaran. Kemungkinan bangunan ini berfungsi sebagai pusat komando.
Tak banyak informasi yang bisa diberikan
eyang google tentang situs ini. Namun dari mbah wikipedia diketahui
kalau Perang Dunia II memang pernah merambah Pulau Timor pada tahun 1942
-1943. Perang ini melibatkan tentara sekutu yang terdiri dari
Australia, Belanda, Portugis, dan Inggris melawan pasukan kekaisaran
Jepang (http://en.wikipedia.org/wiki/Battle_of_Timor).
Seperti kebanyakan peninggalan sejarah lainnya di negeri ini, situs
sejarah ini tidak mendapat perhatian dari pemerintah setempat.
Bunker-bunker tersebut dibiarkan tak terawat, tertutup tanaman liar,
pintunya sudah terkubur tanah, bahkan ada beberapa yang sudah rusak,
entah disengaja atau tidak. Yang lebih parah, beberapa bunker ada yang
dijadikan tempat pembuangan sampah oleh warga. Aksi vandalisme berupa
cecoretan juga menghiasi dinding bunker. Warga yang memanfaatkan lokasi
ini untuk sekedar jalan-jalan juga berpartisipasi dengan membuang sampah
sembarangan, terlihat dengan banyaknya sampah yang berserakan di
sekitar bunker yang ada pohon besarnya. Selain itu, tidak jauh dari
lokasi, mulai ada pembangunan yang bisa jadi akan menggusur situs ini
demi rupiah semata. Semoga saja tidak! Sayang banget ya, padahal kalau
dikelola dengan baik, kawasan ini bisa menjadi objek wisata sejarah yang
menarik. Namun ada skeptisisme juga dalam pikiran saya, misalnya kalau
dikelola oleh pemda sebagai objek wisata, bisa jadi malah tambah rusak,
ntar ada PKL dimana-mana, sampah tambah banyak, dan berbagai penyakit
orang Indonesia lainnya.
Biarlah mereka yang bisa mencintai dan menghargai sejarah saja, yang menikmati kawasan ini sebagai objek wisata.